Jumat, 08 September 2017

Sejarah alat musik karinding

Sejarah Alat Musik Karinding dan Perkembangannya. Pada mulanya karinding adalah merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengusir hama tanaman karena karakter bunyi yang dikeluarkan terdengar mendengung dengan nada low decibel. Diperkirakan telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Beberapa pengamat sejarah Sunda berpendapat bahwa alat musik ini berasal dari kebudayaan pada zaman kerajaan Pajajaran. Selain digunakan untuk mengusir hama, alat musik ini pun dipaka
sebagai musik pengiring pada beberapa ritual adat masyarakat.
Karinding terbagi menjadi tiga bagian yaitu pada  ruas pertama di ujung sebelah kanan yang menjadi tempat  untuk mengetuk karinding sehingga menimbulkan resonansi pada ruas tengah. Kemudian, di ruas tengah terdapat bagian  guratan bambu yang dipotong tipis sehingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Bagian ujung paling kiri  berfungsi sebagai pegangan.
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, kemudian  pada ujung ruas paling kanan karinding diketuk dengan satu jari hingga  karinding pun bergetar secara beraturan yang kemudian diresonansi oleh mulut si pemain. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara konvensional—menurut penuturan Abah Olot, nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada empat jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.

Pamor Karinding beberapa tahun belakangan tidak terlepas dari peran komunitas metal scene Bandung seperti komunitas Ujungberung Rebel yang mana beberapa personil dari band beraliran cadas berinisiatif membentuk sebuah grup musik tradisi bernama Karinding Attack pada tahun 2009 dengan memainkan alat-alat kesenian sunda buhun yang salah satunya adalah karinding. Beberapa event musik lokal  bagi band cadas seperti  "Bandung Berisik" kerap memberikan ruang bagi kesenian tradisi ini untuk berkolaborasi dengan beberapa band dalam rangka turut melestarikan seni budaya daera

Rabu, 21 Juni 2017

Sejarah kerajaan galuh

Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.[7]

Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666 meninggal dunia pada tahun 669, kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Sri Maharaja Tarusbawa, menantunya dari Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara. Karena Tarusbawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh, dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Jumat, 31 Maret 2017

Kata mutiara

Mari bersajak~

"Disini hujan, semoga disana matamu tidak"


"Jangan terlalu sibuk mengejar hasrat, sesekali menengoklah, dan lihat prasaan orang lain"


"Malam ini anginnya banyak, mungkin banyak yang menitipkan gundah kepada hembusan-hembusan malam"


"Adakah yang habis di gerogoti lupa, lupa mata waktu yag tertidur sementara"



"Walaupun takdir begitu pelit, tapi kita tidak dilarang untuk mengubahnya, karena tuhan ingin tahu, berapa kuat kita menghadapinya"



"Diluar banyak cerita, tapi di dalam penuh derita"



"Aku suka hujan, ia mengingatkan ku pada ratap, ia mengingatkan ku pada kasih, ia mengingatkan ku pada senja"



"Dari mana asal kedugaan itu, dari terlalu banyak mengurus diri sendiri, sehingga buta terhadap yang lainya"



"Mungkin kau menganggap pertemuan ini hanya sebagai kebetulan, namun aku yakin, ini bagian dari rencana tuhan dari pertemuan yang kau anggap lelucon"



"Gemuruh air telah datang, inikah yang disebut hujan, ditemani rindu yang selalu ada, cemas, namun esok ia akan datang dan pulang"



"Untuk kamu yang sedang asik dengan persinggahan, segeralah pulang, jangan sampai kau membawa hati yang tak lagi utuh"



"Kata-kata tak berjiwa, namun makan membetuknya mengubah dunia"



"Teguran langit tak terbantahkan, wahai para pencitraan, sampai kapan kau akan memerintah negri ini"



"Jika telah usai telah tenang airnya, berlayarlah sejauh aku tak melihatnya, lupakan dermaga itu, biar aku yang menjaganya, dermaga hayalah sebuah persinggahan"



"Tanpa adanya gelap, sebuah cahaya tidak akan pernah disebut terang"


"Kita hidup untuk melangkah kedepan, bukan tatap meringkuk diperaduan, menuju satu titi dalam satu tujuan"



"Serupa kosong namun bukan hampa, semacam sunyi namun bukan sepi"

"Ada yang kekurangan ada juga yang cukup tapi masih merasa kurang. Ya namanya juga manusia"



Twitter: @Bhudy_wow
                @pencitraan7

Instagram: Bhudy_po

Yuk di follow teman-teman

Sejarah dan adat budaya kampung kranggan

Kampung Kranggan
Penghormatan Warga Kranggan kepada Bumi dan Langit

cokorda yudistira

Kranggan adalah sebuah perkampungan yang terletak persis di perbatasan antara Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor. Meski berada di tengah derasnya laju pembangunan yang berlangsung di Kota Bekasi maupun di Cibubur, Kabupaten Bogor, masyarakat Kampung Kranggan, yang kini termasuk wilayah Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, masih lekat dengan kehidupan budaya dan tradisi masa silam.

Di kampung ini masih dapat dijumpai rumah-rumah tradisional yang berbentuk rumah panggung, meskipun sudah banyak yang mulai rusak dimakan usia. Disebut rumah panggung karena bangunan rumah ditopang sejumlah tiang penyangga, dengan jarak antara lantai rumah dan tanah rata-rata sekitar 50 sentimeter.

Keunikan lain rumah tradisional di Kampung Kranggan adalah terletak pada bentuk atap rumah yang bervariasi dan fungsi masing-masing ruangan di dalam rumah tersebut.

Sedikitnya ada tiga bentuk atap rumah panggung yang kini masih tersisa di Kampung Kranggan, yakni atap model limas, model jure, dan model julang ngapak. Atap model limas dan jure sepintas mirip, namun atap model limas tidak memiliki ampig, atau penutup bagian depan dan belakang yang terbuat dari anyaman bambu. Atap model julang ngapak berbentuk seperti atap rumah joglo, dengan bagian puncak meruncing.

Rumah panggung ini punya tiga ruangan inti, yaitu ruang tengah berbentuk los, sebuah kamar tidur, dan ruangan belakang digunakan tempat penyimpanan benda pusaka atau padi yang disebut pangkeng atau pandaringan. Selain ketiga ruang itu, rumah panggung dilengkapi balai tambahan, atau paseban, yang berfungsi sebagai tempat bersantai atau menerima tamu.

Di masa silam, pemilik rumah menyediakan gentong berisi air bersih dan gayung di balai paseban rumahnya. Para pengelana yang kehausan dapat menciduk air dan beristirahat di balai paseban itu tanpa harus mengganggu pemilik rumah. Tradisi menyiapkan gentong air dan gayung itu sudah hilang, namun pengelana tidak perlu khawatir kehausan, karena di sepanjang jalan alternatif menuju Cibubur ini sudah banyak berdiri warung makanan dan minuman.

Upacara

Masyarakat Kampung Kranggan sampai saat ini masih taat menjaga dan menghidupkan tradisi leluhur mereka. Nutur galur mapai asal, menjaga kelestarian budaya leluhur, demikian pedoman hidup yang dipegang teguh masyarakat asli kampung ini.

Salah satu tradisi yang dilangsungkan secara periodik oleh warga Kampung Kranggan adalah babarit, sebuah prosesi upacara syukuran dan penghormatan kepada leluhur, langit dan bumi, serta sang pencipta. Prosesi ini sarat nuansa budaya Sunda, baik dari bentuk sesajian, atau sesajen, tata upacara, dan doa yang dilantunkan pemimpin upacara ini.

Upacara babarit atau disebut pula salametan bumi ini digelar setiap tahun menyambut datangnya Tahun Baru Saka, Mapag Taun Baru Saka, dan berlangsung selama sebulan penuh. Puncak acaranya adalah mengarak kerbau putih keliling kampung.

"Ini adalah bentuk ungkapan rasa syukur dan terima kasih warga Kampung Kranggan kepada Yang Maha Kuasa karena kami diberikan berkah dan keselamatan.

Dalam salah satu rangkaian upacara babarit, warga Kampung Kranggan berkumpul dan menggelar tikar dan terpal di jalanan. Sebuah ancak, yakni alas dari jalinan bambu berukuran 1,5 m x 1,5 m berisikan sesajen berupa buah-buahan dan hasil bumi lainnya, kue, ikan, daging, serta nasi lima warna dan janur, diletakkan di tengah jalan. Sesajen lainnya ditempatkan di sejumlah baskom.

Upacara ini dipimpin sesepuh desa yang dikenal sebagai Bapak Kolot. Pemuka desa ini biasanya duduk menyendiri di ujung barisan. Sebuah tempat pembakaran kemenyan, atau disebut parupuyan, dan sesajian diletakkan di hadapannya. Sebelum acara doa bersama dimulai, Bapak Kolot membakar kemenyan di pedupaan dan membacakan doa- doa dalam bahasa Sunda.

Upacara dilanjutkan dengan penyampaian maksud dan tujuan agar bumi di berikan keberkahan oleh yang maha kuasa.

Kamis, 30 Maret 2017

Puisi kehidupan.


"Semesta selalu punya cara"
Ada yang ingin mengurung hujan dalam sebuah alinea panjang
yang tak kacau meski kuyup,
hujan malah sibuk mempersuntingnya.
kini yang ditemui berjuta harapan yang tenggelam dalam genangan air hujan, erosi memangkas tanah, mencabut akar, menghanyutkan apa saja, pohon tumbang iman melayang, kian tipis kian miris.

Sejarah alat musik karinding

Sejarah Alat Musik Karinding dan Perkembangannya . Pada mulanya karinding adalah merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengusir hama...